ODGJ Kebal Hukum?

Menurut UU No 11 Tahun 2014 tentang Kesehatan jiwa, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Di zaman yang semakin banyak tuntutan menjadikan kondisi psikis seseorang lebih mudah terganggu, bila tidak mendapat penanganan yang tepat kemudian dapat berubah menjadi gangguan kejiwaan. Sebagai seorang individu tentunya ODGJ pun turut melakukan aktivitas. Namun dengan kondisi kejiwaan yang terganggu bukan tidak mungkin seorang ODGJ membuat suatu keputusan yang salah. Misalnya kasus ODGJ berhadapan dengan hukum yang pernah terdengar di telinga kita, yaitu kasus pria ODGJ asal Nganjuk yang diduga membunuh karyawati pada tahun 2023.

Lantas dengan keadaannya yang demikian, bagimanakah kedudukan hukum ODGJ? Apakah para ODGJ dapat dikatakan tidak dapat memepertanggungjawabkan perbuatannya sehingga mengakibatkan tidak dapatnya dikenakan hukuman pidana atau hukum keperdataan terhadapnya? Meninjau dari Pasal 71 dan 72 Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dikatakan bahwa dalam hal hukum pidana ODGJ yang diduga melakukan suatu tindak pidana harus dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa. Ini bertujuan untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban hukum dan kecakapan hukum orang tersebut. Sementara dalam konteks hukum perdata seorang yang diduga kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan perdata harus mendapatkan pemeriksaan kejiwaan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Tim yang diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikolog klinis.

Bila dalam hasil pemeriksaan ditemukan indikasi terjadinya gangguan kejiwaan parah seperti skizofrenia, yang menyebabkan waham hingga halusinasi. Maka tentu saja sulit untuk seseorang dapat dikatakan memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sisi lain menurut Pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :

“Tidak dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabnkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

Maka dapat disimpulkan bahwa ODGJ dengan gangguan kejiwaan yang parah tidak dapat dilakukan pemidanaan. Namun untuk gangguan kejiawaan lain yang tidak cukup parah serta dalam assesmen kejiwaan ditemukan hasil masih mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka ODGJ tersebut masih dapat dikenai pemidanaan.

Selanjutnya dalam konteks hukum perdata juga harus dilakukan asessmen kejiwaan bagi ODGJ yang diduga kehilangan kecakapannya, bila memang dalam pemeriksaan ditemukan hal tersebut maka ODGJ tersebut harus diserahkan dalam pengampuan. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh seorang ODGJ bagaimanakah bila terdapat ODGJ yang berhadapan dengan hukum? Maka pemerintah harus menyediakan fasilitas dan akomodasi yang layak untuk mendukung proses peradilan. Menurut Pasal 15 PP No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas. Dalam Proses Peradilan disebutkan akomodasi yang layak dapat berupa Pendamping disabilitas, penerjemah, petugas lain yang terkait, dokter atau naskes, psikolog atau psikiater, dan pekerja sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *