Radikalisme Dan Hoak Berkedok Ajaran Agama Menjadi Musuh Bersama

KUDUS – Peran Muhamadiyah mencegah penyebaran paham radikalisme kembali digaungkan di Kota Kretek. Melihat masih terusnya terjadi aksi terorisme tidak lepas dari masih berkembangnya paham radikalisme yang menjadi akarnya. Bupati Kudus dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten I Pemda Kudus, Drs. Agus Budi Satrio, MH saat membuka Seminar Penguatan Ideologi Negara menyampaikan betapa pengaruh Muhammadiyah berperan penting menghadang gelombang radikalisme yang berkembang di tengah masyarakat.

Lebih lanjut Agus Budi Satrio menambahkan bahwa kekuatan sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat sipilnya. Kalau masyarakat sipilnya kuat maka otomatis akan kuat pula negaranya. Untuk itu Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil punya andil besar untuk menjaga dan mewujudkan masyarakat yang toleran dan berkemajuan.

Ditempat yang sama, AKBP Aditya Surya Dharma, S.I.K selaku Kapolres Kudus dalam sambutannya menyampaikan dua hal bentuk ancaman terhadap ideologi negara yang keberadaannya sangat dekat dan berada di tengah masyarakat yaitu penyebaran paham radikalisme dan penyebaran berita hoak, salah satu dari kedua hal tersebut sudah merupakan ancaman yang sangat berbahaya terlebih bila keduanya berkolaborasi, hal itu akan menjadi lebih sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup NKRI.

Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama antara Kantor Kesbangpol Kab. Kudus dengan Pemuda Muhamadiyah mengusung tema “Radikalisme Masih Berkembang, Salah Siapa ?” berlangsung pada Rabu, 28 April 2021 di Aula Kantor PD Muhamadiyah Kudus. Deka Hendratmanto Pimpinan Redaksi muria.news.com diundang hadir untuk memberikan materi peran media dalam penanggulangan radikalisme. Selain itu, juga hadir Kanit Kamsus Satintelkam Polres Kudus sekaligus penulis Buku MENCEPIT (Menutup Celah Penyebaran Ideologi Teroris IPTU Subkhan, S.H., M.H yang bergabung dalam panel pembicara di dialog.

Pada seminar ini, Deka Hendratmanto menjelaskan bahwa sebelum tahun 2009 pelaku terror berasal dari Generasi Baby Boomer (lahir 1946-1964) dan Generasi X (lahir 1965-1980), sedangkan setelah tahun 2009 sampai dengan sekarang pelaku terror berasal dari Generasi Z (lahir 1997-2012) dan Generasi Millenial (lahir 1981-1996). Fakta tersebut memunculkan hipotesa bahwa perancang terorisme di Indonesia sudah mengalihkan sasaran pelakunya ke kelompok millennial. Hipotesa tersebut didukung fakta adanya potensi besar yang mudah dimanfaatkan dari Generasi Millenial untuk direkrut menjadi pelaku terorisme yaitu ketergantungan pada gadged yang terkoneksi internet, sehingga dibutuhkan filter yang ketat dari media online untuk menjaga ketepatan informasi serta sensitivitas terhadap dampak dari berita yang dimuatnya.

IPTU Subkhan menyampaikan, secara kultur Generasi Millenial dan Generasi Z mudah disusupi paham radikalisme terlebih yang disebarkan dengan bungkus ajaran agama serta disebarkan dengan propaganda melalui hoak. Hal tersebut pertama disebabkan karena adanya ketergantungan kedua generasi tersebut pada coneksi internet, salah satu hasil research masyarakat telekomunikasi Indonesia menunjukkan angka 79% pada Generasi Millenial dan Generasi Z yang membuka smartphone 1 menit setelah bangun dari tidurnya, yang kedua hasil research juga menunjukkan bahwa sesuatu yang dibaca pengaruhnya lebih besar dari yang disampaikan langsung. Dari dua hal tersebut, kemudian dimanfaatkan kelompok radikal sehingga Saeful Mujani Research pada 2017 mendapatkan angka 0,9% Generasi Millenial sepakat Pancasila diganti dan IDN Research pada 2019 mendapatkan angka 19% dengan sasaran penelitian yang sama.

Lebih lanjut IPTU Subkhan menyampaikan : “Berdasar fakta tersebut, dapat diketahui bahwa kelompok radikal jumlahnya tidak banyak tapi heboh, dan bisa menguasai media, sementara mayoritas masyarakat Indoensia saat ini lebih cenderung tenang dan diam serta hanya menjalankan rutinitas sehari-hari. Hal ini berdampak pada pengaruh kelompok mayoritas ini di media sosial belum terlalu besar.”

“Artinya, pencegahan paham radikalisme dan terorisme menjadi tanggung jawab kita bersama bukan hanya milik aparat penegak hukum saja. Tantangan besar kita adalah bagaimana memainkan peran lebih besar di sosial media untuk menjaga Generasi Millenial dan Generasi Z agar dapat terbentengi dari pengaruh paham radikal yang disebarkan melalui propaganda dan hoak yang dibungkus ajaran agama. Kita semua dituntut untuk bisa membuat kontra narasi dan kontra identitas untuk menangkal berbagai hoaks dan pemberitaan keliru di media social.”

“Sudah saatnya kita berfikir untuk mentrasnformasi Silent Majority untuk bisa menjadi Noisy Majority”, pungkas IPTU Subkhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *