Kenali dan jauhi “flexing”

Media sosial ibarat pisau bermata dua, di satu sisi membawa dampak kebaikan dapat menjalin silaturahim seperti mempertemukan sahabat yang sudah lama hilang kontak dan media sosial dapat dijadikan jendela ilmu membawa kebaikan karena dengan mudah dapat mengakses segala hal dapat memperluas cakrawala pengetahuan.

Dampak positif dari media sosial adalah memudahkan kita untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu bukan lagi masalah, lebih mudah dalam mengekspresikan diri, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, biaya lebih murah.

Di sisi lain, media sosial dapat berpotensi buruk terhadap penggunanya. Kejahatan yang terjadi karena pengaruh media sosial, terkadang lebih kejam daripada realitas sosial umumnya. Seperti pencemaran nama baik, pelecehan melalui tulisan, pemalsuan identitas, bahkan pembunuhan, semuanya mudah terjadi melalui komunikasi di media sosial yang semakin berkembang dengan kecanggihan teknologi.

Sisi buruk yang lain, ketika kita keliru  menggunakan dan memanfaatkan  media sosial, dapat menghancurkan kemampuan anak-anak maupun orang dewasa secara perlahan, karena kurangnya interaksi dan komunikasi dengan orang lain di dunia nyata. Sehingga tingkat perkembangan keterampilan dalam berbahasa semakin berkurang, dan membuat anak menjadi merasa tidak membutuhkan orang lain.

Situs media sosial membuat penggunanya menjadi lebih egois. Mereka akan menjadi tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya, karena terlalu asyik dengan media sosialnya. Akibatnya pengguna media sosial menjadi kurang berempati dengan dunia nyata, menghancurkan tatanan sosial, misalnya hancurnya rumah tangga, merusak akidah dan moral seseorang, terutama dari kalangan generasi muda.

Dampak negatif lain dari media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang dapat dikategorikan banyak, dengan berbagai keragamannya, baik kultur, suku, ras dan agama yang beraneka ragam, memiliki banyak sekali potensi perubahan sosial. Dari berbagai kalangan dan usia hampir semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana guna memperoleh dan menyampaikan informasi ke publik.

Perkembangan teknologi informasi membawa sebuah perubahan dalam masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat pun mengalami pergeseran, baik budaya, etika dan norma yang sudah tertanam dalam semua segi kehidupan. banyak hal yang sifatnya negatif ketika sebagian besar masyarakat  menggunakan media sosial dengan tidak bijak.

Dampak negatif dari media sosial yang tumbuh di kalangan masyarakat saat ini antara lain menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.

Saat ini, bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia di mana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.

Adanya media sosial telah mempengaruhi kehidupan sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial dan segala bentuk perubahan-perubahan   pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,  termasuk  di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Perubahan sosial positif seperti kemudahan memperoleh dan menyampaikan informasi, memperoleh keuntungan secara sosial dan ekonomi. Sedangkan, perubahan sosial cenderung negatif seperti munculnya kelompok-kelompok sosial mengatasnamakan agama, suku dan pola perilaku tertentu terkadang menyimpang dari norma-norma yang ada.

Dengan berbagai keragaman yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, kita ketahui bersama bahwa pada hakikatnya semua agama mengajarkan hal yang sama dalam hal kebaikan, begitu pula dalam hal penggunaan media sosial. Namun, ada sebagian orang yang menggunakan media sosial sebagai ajang pamer, baik itu memamerkan harta maupun memamerkan perbuatan, yang dikenal dengan istilah flexing.

Sejarah mencatat bahwa asal-usul istilah flexing muncul pada era tahun 1990-an. bermula dari bahasa gaul masyarakat kulit hitam untuk “menunjukkan keberanian” atau “pamer” dan pada tahun 1992, istilah flexing secara khusus juga digunakan oleh rapper Ice Cube melalui lagunya yang berjudul “It Was a Good Day”.

Di Indonesia, istilah flexing mulai mencuat di dunia maya, pascakemunculan fenomena baru tentang crazy rich yang ramai-ramai mengunggah kehidupan sosialnya yang cenderung suka pamer harta kekayaan.

Menurut kamus Merriam Webster, kata flexing berasal dari flex yang bermakna menunjukkan atau mendemonstrasikan. Sebelum populer di media sosial, istilah ini sering orang gunakan dalam dunia ekonomi menggambarkan perilaku memamerkan kekayaan dengan tujuan tertentu, misalnya pemasaran atau investasi.

Melalui media sosial, fenomena flexing muncul dari sekelompok orang yang terdorong untuk tampil dan mendapat pengakuan dan fenomena flexing semakin marak sejak jumlah kelompok orang-orang yang menamakan dirinya superkaya (crazy rich) semakin bertambah. Pada umumnya mereka memamerkan barang-barang mahal dan para crazy rich ini mencoba terus eksis melalui media sosialnya masing-masing.

Selain memamerkan kekayaannya, tindakan flexing juga memamerkan perbuatan, contohnya; berfoto saat akan melaksanakan sholat, mengaji atau bersedekah, lalu diposting ke media sosial. Dalam Islam perbuatan memamerkan ibadah dapat disebut riya’ sedangkan memamerkan harta dapat dikatakan sombong.

Tindakan flexing biasanya tidak lepas dari upaya untuk memamerkan harta di media sosial yang dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui foto atau video. Tindakan tersebut bisa berupa memamerkan saldo rekening dan barang mewah misalnya perhiasan, rumah, kendaraan dan barang-barang elektronik.

Tujuan pamer antara lain agar dianggap hebat dan memiliki kedudukan lebih sehingga dihormati. Namun, orang-orang yang melakukan tindakan flexing tidak memahami  bahwa tujuan bermedia sosial adalah terhubung dengan banyak orang bukan untuk pamer.

Dalam pandangan Islam, harta bukanlah menjadi tujuan esensial dalam hidup manusia, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup dan ridha Allah ataupun untuk kebaikan pribadi dan masyarakat banyak.

Masyarakat mulai mengenal istilah baru: “fleksing” (flexing). Sederhananya, fleksing berarti pamer. Orang yang gemar fleksing biasanya mempertontonkan barang mewah, isi saldo di rekeningnya, uang bertumpuk-tumpuk, pakaian mahal, makanan kelas bintang lima, jet pribadi, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mahal lainnya. Fleksing juga tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga prestasi, pencapaian, keberhasilan, bahkan saat melaksanakan ibadah atau kebaktian dalam komunitasnya.

Walaupun tidak secara langsung, tetapi Alkitab memiliki beberapa referensi tentang penggunaan pengertian flexing, di mana pamer menjadi salah satu bentuk pelarian dari kegundahan dan kekosongan jiwa seseorang. Memiliki hasrat agar eksistensi dan kesetaraannya diakui di antara orang lain tentu wajar, tetapi akan menjadi masalah jika hasrat tersebut tidak terkendali hingga mendorong seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu.

Jika tidak dikendalikan dengan bijak, maka dorongan jiwa semacam ini akan membuat orang terjebak pada dosa kesombongan.

Dari sudut pandang agama apapun, tindakan flexing atau pamer harta adalah merupakan suatu  kesombongan. Pada hakikatnya, sikap sombong, congkak dan cenderung takabur, timbul dari hati yang bermasalah, yaitu ingin diperhatikan dan memerlukan pujian untuk menutupi perasaan rendah dirinya. Kebiasaan pamer pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk memahami hubungan sosial dalam perspektif yang benar. Dalam memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan informasi, seseorang dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan etis. Ada beberapa tuntunan dalam penggunaan media sosial sebagai referensi untuk mencegah seseorang dari ucapan, pendengaran, penglihatan, hati, serta tindakan-tindakan yang mengarah kepada kemungkaran dan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *