Restorative Justice: Transformasi Penegakan Hukum yang Humanis oleh Polri

Dalam dinamika penegakan hukum modern, model restorative justice (keadilan restoratif) semakin mengemuka sebagai pendekatan yang tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan. Di Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah mengambil langkah signifikan untuk mengimplementasikan konsep ini, menandai pergeseran dari paradigma retributif (pembalasan) menuju paradigma yang lebih humanis dan holistik.

Apa Itu Restorative Justice?

Secara sederhana, restorative justice adalah sebuah pendekatan penyelesaian perkara di luar jalur hukum formal (pengadilan) dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak terkait lainnya untuk mencari solusi yang adil dan memulihkan kondisi. Prinsip utamanya adalah memulihkan kerugian yang diderita korban, mengintegrasikan kembali pelaku ke dalam masyarakat, dan menciptakan rasa harmoni yang sempat terganggu akibat tindak pidana.

Mengapa Restorative Justice Penting untuk Polri?

Di bawah kepemimpinan yang berorientasi pada reformasi, Polri melihat restorative justice sebagai alat strategis untuk:

  1. Mengurangi Beban Perkara: Banyak kasus pidana ringan, seperti pencurian kecil, penganiayaan ringan, atau perselisihan, seringkali membanjiri sistem peradilan. Dengan restorative justice, kasus-kasus ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan, membebaskan waktu dan sumber daya aparat untuk menangani kasus yang lebih berat.
  2. Mewujudkan Keadilan Substantif: Restorative justice lebih berorientasi pada keadilan substantif dibandingkan keadilan formal. Keadilan tidak hanya diukur dari seberapa berat hukuman yang dijatuhkan, tetapi dari seberapa besar pemulihan yang dirasakan oleh korban.
  3. Membangun Kepercayaan Publik: Dengan memfasilitasi dialog antara pelaku dan korban, Polri tidak hanya bertindak sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai mediator yang membantu menyelesaikan masalah. Pendekatan ini menunjukkan empati dan komitmen Polri untuk melayani masyarakat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik.
  4. Mencegah Residivisme: Ketika pelaku bertanggung jawab secara langsung kepada korban dan masyarakatnya, mereka lebih mungkin untuk memahami dampak dari perbuatannya. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan mereka untuk mengulangi perbuatannya di masa depan.

Penerapan Restorative Justice oleh Polri

Penerapan restorative justice di Polri telah diatur dalam berbagai peraturan, termasuk Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini menjadi landasan hukum bagi penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan (SP3) dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:

  • Tindak pidana tidak menimbulkan kerugian materiil atau korban yang fatal.
  • Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
  • Adanya kesepakatan damai antara pelaku dan korban.

Dalam praktiknya, restorative justice diterapkan melalui mediasi penal, di mana penyidik memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak terkait. Pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk mencapai perdamaian, tetapi juga untuk menyepakati bentuk pemulihan, seperti pengembalian kerugian, permintaan maaf, atau kompensasi.

Tantangan dan Masa Depan

Implementasi restorative justice di tubuh Polri tentu tidak lepas dari tantangan. Tantangan utama meliputi pemahaman yang seragam di tingkat operasional, risiko penyalahgunaan kewenangan, dan memastikan bahwa hak-hak korban tetap terlindungi secara maksimal. Oleh karena itu, edukasi dan pengawasan yang ketat menjadi kunci keberhasilan.

Namun, dengan komitmen yang kuat, restorative justice berpotensi menjadi salah satu pilar utama dalam modernisasi penegakan hukum di Indonesia. Ini adalah langkah maju yang menunjukkan bahwa Polri tidak hanya berorientasi pada tindakan represif, tetapi juga pada pelayanan yang berfokus pada kemanusiaan, pemulihan, dan perdamaian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *