STOP MAIN HAKIM SENDIRI

Budaya main hakim sendiri, Pada zaman sekarang ini yang seharusnya pola pemikiran masyarakat sudah terbuka dalam menyikapi suatu masalah, namun kita masih dapat menemukan beberapa kasus main hakim sendiri di Indonesia. Memang pada zaman dulu kita sudah mengenal budaya seperti ini namun seharusnya kita sekarang bisa untuk memperbaiki budaya buruk tersebut. Eigenrechting atau tindakan main hakim sendiri dapat dilakukan oleh siapapun termaksud perseorangan ataupun kelompok. Tidak memandang jabatan, aparat negara, ataupun ia seorang penegak hukum sekaligus apabila ia mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum maka dapat dapat dikatakan tindakan main hakim sendiri (Eingenrechting).

Contoh dari tindakan main hakim sendiri adalah pemukulan terhadap pelaku kejahatan oleh masyarakat.

Seyogyanya perlu disadari bahwa tindakan anarkis berupa Eigenrichting/perbuatan main hakim sendiri merupakan sebuah perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan amarah) atau a hostile frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan masyarakat pada pranata formal termasuk terhadap penegakan hukum (law enforcement) sudah teramat buruk, dan sudah menjadi adagium yang universal. Tingkat kepercayaan masyarakat penegakan hukum sangat rendah, maka dengan sendirinya masyarakat cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri Eigenrichting akan meningkat. Atas dasar itu maka sangat beralasan ketika kita mengemukakan bahwa Indonesia pada umumnya membutuhkan suatu strategi baru, dalam upaya penanggulangan perbuatan main hakim tersebut. Apa yang dimaksud dengan strartegi baru tersebut adalah pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum.

Apabila seseorang melakukan main hakim sendiri maka akan dijerat dengan pasal :

Pasal 170:

“(1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

(2) Tersalah dihukum:

1. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.

2. dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh

3. dengan penjara selamalamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang”.

Pasal 351

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 352

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.Pasal 354

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan

penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama sepuluh tahun.

Tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) ini kemudian dalam tatanan hukum nasional bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Jadi seseorang tidak boleh dihukumi bersalah atau tidaknya tanpa melalui suatu proses hukum, sebab ada kemungkinan seseorang tidak bersalah tetapi menjadi korban tindakan main hakim sendiri. Masyarakat tidak boleh terprovokasi pada situasi-situasi tertentu di mana eksistensi hukum diperlukan. Sebagaimana yang kita ketahui bersama hukum merupakan instrumen pengendali sosial. Hal ini kemudian yang memunculkan beragam persoalan ketika tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan dianggap sebagai suatu fenomena yang biasa saja.

Tentu hal ini membutuhkan sebuah langkah solutif mulai dari dibutuhkannya pergeseran paradigma dalam memandang fenomena seperti ini sebagai sesuatu perilaku yang menyimpang. Tindakan menghakimi sendiri seperti ini merupakan sebuah tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri dengan sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan. Sebagai sebuah Negara dengan doktrin Negara hukum seperti yang termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa “Indonesia adalah sebuah negara hukum”. Tentu tindakan main hakim sendiri tidak memiliki satupun alasan pembenar dari sisi normative.

Dalam hukum, perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi kepada sesorang untuk menegakkan hukum karena pelaksanaan sanksi adalah monopoli penguasa. Seperti yang ditegaskan Blackstone (Achmad Ali: 2008:25) “Law is a rule of action prescribed or dictated by some superior which some interior is bound to obey”. “Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasai untuk ditaati”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *