DEBT COLLECTOR TARIK KENDARAAN? KETAHUI DASAR HUKUM DAN PROSEDURNYA

Perkembangan media sosial yang semakin masif membuat berbagai peristiwa di tengah masyarakat dengan mudah tersebar luas, termasuk kejadian penarikan kendaraan bermotor berupa mobil maupun sepeda motor oleh pihak debt collector. Tidak jarang, penarikan tersebut dilakukan secara paksa di jalan atau di tempat umum, sehingga menimbulkan keresahan dan kekhawatiran, khususnya bagi masyarakat yang membeli kendaraan melalui mekanisme kredit.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: bagaimana sebenarnya aturan hukum terkait penarikan kendaraan bermotor yang mengalami tunggakan cicilan? Apakah penarikan tersebut dapat dilakukan secara sepihak oleh pihak kreditur atau debt collector, ataukah harus melalui putusan pengadilan?

Pengaturan Jaminan Fidusia dalam Undang-Undang

Penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah pada prinsipnya berkaitan erat dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia.

Lebih lanjut, Pasal 15 UU Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam pasal yang sama juga ditegaskan bahwa apabila debitur cidera janji, penerima fidusia berhak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Ketentuan tersebut dalam praktik menimbulkan perbedaan penafsiran. Sebagian pihak menafsirkan bahwa eksekusi jaminan fidusia harus dilakukan melalui pengadilan, sementara pihak lain berpendapat bahwa undang-undang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan penarikan secara langsung atau sepihak. Perbedaan pemahaman inilah yang kemudian memicu maraknya praktik penarikan kendaraan secara paksa oleh debt collector di masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

Untuk memberikan kepastian hukum dan menyeragamkan penafsiran, Mahkamah Konstitusi pada tahun 2019 mengeluarkan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menegaskan bahwa:

  1. Kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia tidak dapat diberlakukan secara serta-merta apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai terjadinya cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan objek jaminan secara sukarela.
  2. Penentuan adanya cidera janji tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan harus berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur atau melalui mekanisme upaya hukum.
  3. Apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai cidera janji dan debitur menolak menyerahkan objek jaminan, maka pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dan harus tetap menjunjung prinsip perlindungan hukum bagi debitur.

Praktik di Lapangan dan Perbedaan Penafsiran

Meskipun telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam praktiknya masih ditemukan perbedaan penafsiran terkait teknis pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Sebagian berpendapat bahwa putusan MK telah memperjelas bahwa penarikan kendaraan wajib melalui pengadilan. Sementara itu, sebagian lainnya beranggapan bahwa penarikan tetap dapat dilakukan langsung oleh kreditur atau melalui debt collector, sepanjang telah ada kesepakatan tentang cidera janji serta kesediaan debitur untuk menyerahkan objek jaminan secara sukarela.

Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan praktik penarikan kendaraan bermotor oleh debt collector masih kerap terjadi di tengah masyarakat.

Persyaratan Penarikan Kendaraan oleh Debt Collector

Terlepas dari adanya perbedaan penafsiran tersebut, terdapat sejumlah hal yang secara umum telah disepakati dan harus dipenuhi dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah, khususnya apabila dilakukan oleh debt collector, yaitu:

  1. Adanya Sertifikat Jaminan Fidusia yang sah.
  2. Surat kuasa atau surat tugas penarikan dari perusahaan pembiayaan.
  3. Kartu sertifikat profesi penagihan yang masih berlaku.
  4. Kartu identitas diri yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka tindakan penarikan kendaraan berpotensi melanggar hukum dan dapat dilaporkan kepada aparat penegak hukum.

Pemahaman yang benar mengenai aturan hukum penarikan kendaraan bermotor sangat penting bagi masyarakat, baik sebagai debitur maupun sebagai bentuk kontrol sosial terhadap praktik penagihan di lapangan. Dengan memahami ketentuan Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Putusan Mahkamah Konstitusi, diharapkan tidak lagi terjadi penarikan kendaraan secara sewenang-wenang yang merugikan dan meresahkan masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *