Polisi,Harapan, Realita, Dan Jalan Kembali Ke Misi Mulia

Gelombang tuntutan masyarakat agar kepolisian direformasi semakin kuat. Publik menagih kembalinya polisi pada jalan pengabdian yang sejati: menghadirkan rasa aman, menegakkan keadilan, dan melayani dengan sepenuh hati.

Suara ini bukan sekadar kritik sesaat, melainkan juga cermin dari krisis kepercayaan yang kian dalam. Semestinya, inilah momentum emas untuk melakukan pembenahan institusi secara holistik—menyentuh sistem, budaya, hingga kepemimpinan—bukan sekadar tambal sulam struktural.

Namun, alih-alih dijadikan bahan introspeksi, fenomena yang muncul justru mengherankan. Di tengah derasnya aspirasi reformasi, ada ”elemen masyarakat” yang digerakkan untuk menolak perubahan dan mendukung status quo.

Fenomena ini menjadi antitesis dari semangat pembenahan. Bagaimana mungkin suara murni publik yang menghendaki perbaikan direspons dengan gerakan tandingan yang mempertahankan kondisi karut-marut?

Pada masa awal kemerdekaan, polisi hadir sebagai pengayom sejati. Mereka dikenal karena kedekatannya dengan masyarakat, bukan karena atribut atau pangkat. Polisi tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menjaga kepercayaan.

Wibawa institusi lahir dari sikap rendah hati, keberanian menegakkan keadilan, dan ketegasan terhadap penyimpangan—bahkan terhadap dirinya sendiri. Kehormatan Bhayangkara kala itu tumbuh dari nilai, bukan citra. Dari pengabdian, bukan tuntutan jabatan.

Kini, meski sarana semakin canggih, struktur kelembagaan kian besar, dan jargon modernisasi bertebaran, yang merosot justru kepercayaan publik. Masyarakat kian sering melihat polisi lebih dekat dengan lingkar kekuasaan ketimbang dengan denyut hati mereka sendiri.

Tingginya keluhan masyarakat atas kinerja pelayanan dan pemenuhan rasa keadilan yang tidak maksimal semakin menumpuk sehingga melahirkan sarkasme pahit di ruang publik: no viral, no justice.

Reformasi Polri pasca-1998 sejatinya lahir dari harapan besar. Namun, yang bergerak cepat justru perubahan struktural dan instrumental: gedung baru, teknologi digital, dan seragam yang diperbarui. Sementara yang tertinggal adalah reformasi kultural—pembenahan mental, orientasi nilai, dan karakter personel. Padahal, di situlah inti perubahan yang paling menentukan: manusia dan budaya kerja.

Ketika masyarakat mendengar kata ”oknum” berulang kali, mereka tidak lagi melihat individu, melainkan pola. Dan pola itulah yang menjadi cermin sistem. Maka, tidak mengherankan jika seruan reformasi kini kian lantang.

Tetapi, apa jadinya jika aspirasi itu ditangkis dengan gerakan tandingan seolah-olah reformasi adalah ancaman? Itu adalah sikap ”lupa diri” yang justru memperdalam jurang ketidakpercayaan.

Tiga dimensi reformasi

Reformasi sejati harus kembali pada tiga dimensi mendasar: sistem, budaya, dan kepemimpinan.

Pertama, sistem. Rekrutmen, promosi, dan pengawasan harus berbasis merit, bukan kedekatan. Institusi harus bersih dari dalam sebelum membersihkan di luar.

Kedua, budaya. Budaya integritas harus dihidupkan kembali melalui teladan, bukan sekadar slogan. Malu melanggar dan bangga pada kejujuran harus menjadi arus utama.

Ketiga, kepemimpinan. Pemimpin bukan sekadar pengelola struktur, melainkan juga jangkar moral. Ia harus berani berdiri di garis depan saat nilai diuji, bukan sekadar piawai tampil di panggung.

Rakyat Indonesia tidak menuntut polisi yang sempurna. Mereka hanya ingin polisi yang adil, jujur, dan berpihak kepada yang lemah. Polisi yang hadir saat dibutuhkan, bukan hanya ketika kamera menyorot.

Kini, pertanyaan mendasar masih menggantung: apakah Polri berani menempuh jalan lurus reformasi atau justru terjebak dalam arak-arakan massa yang mempertahankan status quo?

Sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling lama menjabat, tetapi siapa yang paling berani memperbaiki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *