Meskipun teknologi digital kian meresap dalam hidup kita, nyatanya masyarakat penyandang disabilitas masih menghadapi banyak tantangan. Fakta ini terekam jelas dalam kesulitan mereka mengakses layanan publik dan peluang ekonomi berbasis digital. Seringkali, ada perbedaan pandangan karena penyedia layanan digital belum betul-betul memahami kebutuhan spesifik penyandang disabilitas. Padahal, penyandang disabilitas membutuhkan kemudahan akses, manfaat langsung, dan rasa dilibatkan dalam setiap layanan digital.
Dalam dunia kerja, banyak penyandang disabilitas yang masih bergerak di sektor informal. Era ekonomi digital memang berpotensi dalam banyak hal, tapi partisipasi mereka di dalamnya masih terkendala oleh kurangnya akses ke teknologi dan ketidaksetaraan digital. Lebih jauh lagi, meskipun teknologi digital seharusnya bisa memberdayakan, ada celah lebar antara pemahaman teori tentang keamanan siber dengan bagaimana menerapkannya sehari-hari. Ditambah lagi, perlindungan teknologi yang belum maksimal membuat penyandang disabilitas menjadi lebih rentan terhadap berbagai ancaman di dunia maya.
Nah, karena berbagai tantangan tadi, terutama soal literasi siber dan akses ke teknologi yang belum merata, para penyandang disabilitas yang berupaya merintis atau menjalankan bisnis di ranah digital menghadapi serangkaian masalah unik, khususnya terkait perlindungan data pribadi. Permasalahan ini adalah isu krusial yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu masalah utamanya adalah pemahaman yang masih minim tentang privasi di ranah digital. Masih ada pelaku bisnis disabilitas yang belum sepenuhnya paham apa saja data pribadi mereka, bagaimana data tersebut dikumpulkan dan digunakan oleh berbagai platform digital, serta risiko apa yang mengintai jika data ini disalahgunakan.
Di sisi lain, kurangnya aksesibilitas teknologi dan sistem keamanan yang belum inklusif juga menjadi akar masalah. Banyak platform digital dan fitur keamanannya belum sepenuhnya dirancang untuk bisa digunakan oleh penyandang disabilitas dengan berbagai kebutuhan. Hal ini tentu saja membuat mereka sulit memanfaatkan potensi teknologi secara maksimal dan pada akhirnya memperbesar risiko kebocoran atau penyalahgunaan data pribadi dalam aktivitas bisnis digital.
Ancaman nyata dari penyalahgunaan data pribadi ini pun sangat beragam dan bisa berdampak serius, apalagi bagi pelaku bisnis disabilitas. Contohnya, data pribadi mereka sangat rentan disalahgunakan untuk pengajuan pinjaman online ilegal yang kini marak. Modus penipuan seringkali menyasar individu dengan menawarkan kemudahan akses dana, namun berujung pada jeratan utang atau pencurian identitas. Selain itu, data personal yang dimiliki penyandamg disabilitas juga berpotensi digunakan untuk pengajuan bantuan fiktif kepada lembaga sosial.
Ironisnya, di tengah kompleksitas masalah ini, riset atau penelitian yang secara spesifik membahas risiko penyalahgunaan data pribadi pada penyandang disabilitas di Indonesia, terutama bagi mereka yang aktif sebagai pelaku bisnis digital, masih sangat jarang. Keterbatasan data dan studi mendalam di area ini membuat kita kesulitan untuk memahami potensi ancaman yang bisa saja terjadi. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk tidak hanya mengakui masalah ini, tetapi juga secara aktif mencari cara untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan.
Setelah mengidentifikasi fakta dan berbagai masalah yang dihadapi, jelas bahwa situasi di mana penyandang disabilitas rentan terhadap penyalahgunaan data pribadi, terutama sebagai pelaku bisnis digital, sama sekali tidak dapat kita terima. Situasi ini adalah tantangan serius yang mengancam keadilan dan inklusivitas di era digital. Fenomena ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan cerminan dari ketimpangan sistemik yang menghambat partisipasi penuh kelompok disabilitas dalam gerakan ekonomi digital.
Kerentanan ini, pada dasarnya, bisa kita pahami melalui lensa Teori Kesenjangan Digital (Digital Divide Theory). Teori ini tidak hanya berbicara tentang perbedaan akses fisik terhadap teknologi, tetapi juga kesenjangan dalam hal kualitas akses, literasi digital, relevansi konten, dan kemampuan memanfaatkan teknologi secara optimal. Bagi penyandang disabilitas, kesenjangan ini diperparah oleh desain teknologi yang seringkali tidak inklusif, kurangnya materi edukasi yang aksesibel, serta minimnya dukungan sosial dan struktural. Akibatnya, mereka tidak hanya tertinggal dalam adopsi teknologi, tetapi juga terekspos pada risiko yang lebih besar.
Selain itu, masalah ini juga bisa dilihat dari perspektif Teori Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas privasi dan hak untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Penyalahgunaan data pribadi adalah pelanggaran terhadap hak privasi individu. Ketika hak privasi ini terancam, apalagi bagi kelompok yang sudah rentan, hal itu secara langsung menghambat kemampuan mereka untuk berdaya secara ekonomi dan sosial melalui bisnis digital. Situasi ini menunjukkan kegagalan kolektif kita untuk memastikan bahwa transformasi digital justru tidak menciptakan bentuk diskriminasi baru atau memperburuk yang sudah ada.
Meskipun Indonesia telah memiliki fondasi regulasi yang kuat terkait perlindungan data pribadi, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tugas kita bersama kini adalah memastikan regulasi tersebut dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan. UU PDP memberikan kerangka hukum yang fundamental. Namun, untuk mewujudkan perlindungan data yang optimal bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, dibutuhkan upaya yang membahas tentang bagaimana kesadaran akan hak-hak privasi dibangun, bagaimana teknologi dirancang agar aman dan inklusif, serta bagaimana pelaku bisnis digital, terutama UMKM, dapat berdaya tanpa khawatir adanya penyalahgunaan data pribadi.
Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan strategi yang komprehensif dan kolaboratif dari berbagai sektor. Solusi yang dihadirkan bukan hanya tugas dari satu pihak saja, melainkan peran bersama untuk menciptakan ekosistem digital yang benar-benar adil dan aman bagi semua.