Menjadi polisi harus ada manfaatnya, kalau tidak ada manfaatnya maka tidak ada gunanya. Menjadi polisi itu ada batasnya, menjadi masyarakat itu tanpa batas.
Kalimat tersebut diadopsi dari tulisan Sindunata (1999) untuk menunjukkan bahwa keberadaan polisi karena adanya kebutuhan pelayanan kepolisian yang menjadi bagian dari masyarakatnya yang diterima dan mendapatkan dukungan dari masyayarakat yang dilayaninya karena keberadaanya mampu mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial adanya keamanan dan rasa aman.
Polisi dapat dikatakan sebagai bayang-bayang dari masyarakatnya, “jangan berharap punya polisi yang sehat dalam masyarakat yang sakit”.
Membahas kepolisian dapat dilihat dari pemolisiannya, polisi sebagai petugas, sebagai fungsi, dan sebagai institusi. Polisi bekerja melalui pemolisian .
Ketiga pendekatan polisi tersebut terdapat dalam sebuah birokrasi kepolisian maupun dalam masyarakat. Penilaian tentang kepolisian dan pemolisiannya dipelajari dan dikaji serta dikembangkan dalam ilmu kepolisian.
Pemolisian dapat dimaknai sebagai segala usaha maupun upaya kepolisian pada tingkat manajemen maupun operasional dengan atau tanpa upaya paksa dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan (lihat Bayley, 1995; Rahardjo. 2002; Suparlan, 1997, 1999, 2004, 2009).
Pemolisian dapat menjadi suatu karakter bagi institusi kepolisian yang dapat dibangun menjadi model yang bervariasi antara satu tempat dengan yang lainnya. Model pemolisian dapat dibangun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kemajuan institusi kepolisian,
2. Wilayah, masalah yang dihadapi, potensi-potensi yang dapat diberdayakan, corak masyarakat dan kebudayaannya, nilai-nilai kearifan lokal, dan sebagainya,
3. Fungsi dan tugas pokok polisi, baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian.
Arah untuk menuju kepolisian sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatif), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggung jawab dan disiplin) dan modern dan
4. Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang administrasi, bidang operasional maupun capacity building.
Penyelenggaraan pemolisian sebagai karakter bagi institusi dan petugas polisi dalam menyelenggarakan tugasnya juga mencerminkan Keutamaan bagi petugas polisi.
Keutamaan sering diungkapkan, namun maknanya dan implementasinya dalam pemolisian belum banyak dibahas/ jarang ditemukan.
Keutamaan dalam konteks pekerjaan bagi petugas polisi dapat dikaitkan dengan bagaimana petugas polisi dalam hidup dan kehidupanya dan pemolisiannya menjadi optimal, bijaksana yang dilakukan atas dasar kesadaran.
Implementasi keutamaan dalam pemolisiannya diselenggarakan secara profesional, cerdas, bermoral dan modern yang ditunjukan dengan kemampuanya mengendalikan diri dari berbagai keinginan-keinginan baik yang rasional maupun tidak rasional untuk keutamaan (keugaharian) (Wibowo, Setyo 2015).
Selain itu juga dapat membawa manfaat bagi sesama, alam lingkungan dan kehidupan. Keutamaan secara singkat dapat juga di pahami sebagai upaya memanusiakan manusia/ kemanusiaan, mampu membuat diri dan sesamanya bahagia, apa yang menjadi hal utamanya tersebut dapat dilaksanakan dengan mudah dan secara optimal.
Melakukan sesuatu secara optimal bukan karena sesuatu (ketakutan, keterpaksaan, dipaksa, diancam, menginginkan sesuatu, atau ada pamrih) melainkan karena ada kesadaran.
Kesadaran melakukan keutamaan dalam pemolisiannya secara optimal merupakan pemahaman dan penghayatan akan sesuatu dari dirinya yang merupakan refleksi atas kehidupan yang menunjukkan dirinya tercerahkan sehingga memiliki kemampuan untuk mengendalikan dirinya (otak, otot dan hati nuraninya) untuk melakukan yang terbaik, bersahaja, bijaksana sehingga membawa manfaat, menggembirakan, dan membawa perbaikan/ peningkatan dan kemajuan bagi masyarakat yang dilayaninya.
Polisi sebagai fungsi maupun institusi yang didirikan sebagai bagian dari pemerintahan untuk mewujudkan, memelihara keteraturan sosial dapat diselenggarakan secara optimal dan sebagai refleksi atas keutamaan adalah terwujud dan terpeliharanya yaitu adanya keamanan dan rasa aman masyarakat.
Dengan demikian keutamaan dalam pemolisiannya adalah bagaimana polisi dapat memanusiakan manusia dan mengangkat harkat serta martabat manusia. Kautamaan bagi petugas Polri dapat ditunjukkan dari kesadaranya untuk mampu mawas diri, mengambil keputusan secara bijaksana yang menjadi core/ inti pekerjaannya dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman warga masyarakat dan memberikan bantuan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, moral masyarakat, isu-isu penting yang terjadi dan penegakan hukum serta keadilan.
Menurut Prof. Franz Magnis Suseno (1999) keutamaan dimaknai : “Tidak sulit untuk menjadi baik dan tidak sulit untuk menjalankan yang baik dan benar bahkan apa yang dilakukan untuk kebaikan dan kebenaran akan mendapat dukungan dan menjadi core valuenya” .
Dengan demikian keutamaan bagi petugas polisi adalah kemanusiaan, yang ditunjukkan pada pola-pola pemolisiannya yang senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengangkat harkat dan martabat manusia pada tingkat management maupun operasional baik dengan maupun tanpa upaya paksa. Polisi dalam pemolisiannya bukan sekedar sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum melainkan juga mampu menjadi penjaga kehidupan.
Maka penjaga kehidupan dapat dipahami: bahwa dalam masyarakat untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang diperlukan adanya produktivitas. Dalam proses produktivitas tersebut ada kemungkinan terjadi ancaman, hambatan, gangguan yang dapat menghambat, merusak dan mematikan produktivitas sehingga untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang produktif diperlukan adanya aturan, norma, moral, etika dan hukum untuk menegakkannya dan mengajak masyarakat mentaatinya diperlukan adanya institusi yang menangani salah satunya adalah Polisi.
Dalam konteks ini Polisi dapat dimaknai sebagai co producer dan spiritnya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat . dalam konteks ini, hal tersebut dapat ditunjukkan produk kinerj apolisi adalah terwujud dan terpeliharanya kemanan dan rasa aman. Dengan demikian polisi tidak bermain-main dengan hal-hal yang ilegal, tidak menerima suap, tidak memeras dan menjadi backing dalam berbagai perikehidupan ( Suparlan 1999, Chryshnanda DL, 2009, 2011, 2014).
Polisi sebagai penegak hukum dan keadilan adalah untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang produktif. Hukum dan keadilan merupakan ikon peradaban, polisi dalam menegakkan hukum menjadi bagian pembangun peradaban. Polisi menegakkan hukum adalah untuk :
1. Menyelesaikan konflik secara beradab,
2. Mencegah agar tidak terjadi konflik yang lebih luas,
3. Melindungi, mengayomi, melayani korban dan pencari keadilan,
4. Adanya kepastian sehingga hukum bisa menjadi sandaran,
5. Bagian dari edukasi (membangun budaya patuh hukum).
Tatkala bagi Petugas Polisi untuk melakukan hal-hal yang menjadi keutamaan mengalami kesulitan atau dipersulit, tidak mendapat dukungan artinya apa yang ideal bukanlah menjadi keutamaan dalam implementasi pemolisian, sehingga antara yang ideal dengan yang aktual berbeda bahkan bisa bertentangan.
Apa yang salah atau yang tidak benar telah mejadi habitus, bahkan bisa juga menjadi kebanggaanya. Salah satu penyebabnya yang ideal tergerus oleh yang aktual karena adanya sistem-sistem pendekatan personal dalam birokrasi yang patrimonial, sehingga birokrasi menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan kemanusiaan akan diabaikan bahkan bisa dihilangkan.
Namun tatkala kemanusiaan menjadi keutamaan maka polisi akan menjadi kebanggaan dan yang akan dicari serta dibutuhkan dan dirasakan keberadaanya oleh masyarakat. Dan dijadikan acuan karena polisi mampu menujukkan standar dasar dalam pemolisiannya sehingga polisi dapat penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan menjadi pejuang-kemanusiaan.
Tatkala polisi kehilangan keutamaannya maka Kerugian besar (social cost yang mahal) bagi polisi adalah kehilangan atau tidak mendapat kepercayaan. Pepatah orang jawa menyebutkan “Kelangan bondo iku ora kelangan, kelangan nyowo iku kelangan separo, kelangan kepercayaan, kelangan sak kabehane (kehilangan harta itu tidak kehilangan, kehilangan nyawa kehilangan setengah, kehilangan kepercayaan kehilangan semuanya).
Pada kenyataanya yang semestinya menjadi keutamaan, justru dianggap menjadi penghambat/ benalu dan sering disalah gunakan/ menyimpang sehingga tanpa disadari keutamaan telah dihilangkan/ dimatikan dari/ dengan nilai-nilai hedonisme, keserakahan, KKN yang bukan semestinya. Selain itu, juga sulit untuk meyakinkan hal-hal yang baik dan benar karena tidak ada temannya/ tidak mendapatkan dukungan bahkan bisa diserang, ini sebenarnya telah terjadi pembusukan dan pelapukan-pelapukan dari dalam.
“Bener yen ra umum iku salah, salah yen wis umum iku dadi bener “.
Hadap kanan grak ! Satu hadap kanan sembilan puluh sembilan hadap kiri, siapa yang salah dan siapa yang dibenarkan ? Cepat atau lambat tatkala polisi kehilangan keutamaan, maka polisi secara pribadi, secara fungsional maupun institusi akan mengalami kemunduran, kerusakan bahkan kematian, akibatnya keberadaan polisi tidak dipercaya, tidak dianggap penting dan di label buruk. Keutamaan memang harus terus dibangun disadarkan, dibangkitkan dan diberdayakan agar terus dapat tumbuh, hidup dan berkembang.
“Polisi Tidur Saja Bikin Masalah”, Seringkali kita mendengar anekdot dan plesetan-plesetan tentang polisi yang semuanya mencerminkan suatu ungkapan kekecewaan, sakit hati yang disampaikan sebagai bentuk grundelan-grundelan/ humor-humor saat mereka berkeluh kesah “Polisi tidur saja bikin masalah bagaimana yang bangun?”.
Polisi dalam menjalankan pemolisianya sering di label sebagai tindakan ngerusuhi/ mengganggu walaupun tidak semuanya benar. Ada kalanya pelaksanaan pemolisianya juga diganggu/ dirusuhi dan polisi dijadikan kambing hitam/ yang dipersalahkan. Ngrusuhi (mengganggu) sebagai sebuah penyimpangan sosial yang menghambat, merusak, menggagalkan, bahkan mematikan produktivitas msyarakat.
Ngrusuhi dampak dari perebutan sumber daya, perebutan pendistribusian sumber daya maupun harga diri yg dilandasi sifat iri dengki, ketidaksukaan terhadap sesuatu, anti terhadap sesuatu yang akarnya adalah kebencian dan intoleransi (Suparlan, 1999, 2004, 2009).
Tatkala ngrusuhi sudah menjadi pembenaran maka akan timbul labeling, prasangka dan puncaknya adalah kebencian. Tatkala sudah menjadi kebencian sebenarnya tinggal menunggu triger saja untuk meledak dan menjadi konflik. Dengan kebencian dan intoleransi, maka siapa yang kuat atas yang lemah akan memaksakan kehendak “pokok’e”. Kelompok yang lebih kuat mendominasi kelompok yang lemah. Tidak ada lagi pertimbangan serta tidak mempedulikan orang lain maupun dampaknya.
Ngrusuhi ini jelas menjadi benalu yang mengerat dan menggerogoti produktivitas masyarakat karena kehilangan rasionalitasnya. Kelompok primordialpun akan dijadikan alat untuk mencari legitimasi dan solidaritas, karena tidak rasional, yang mengedepankan emosional dan spiritual.
Sikap ngrusuhi sebenarnya adalah tindakan kontra produktif yang saling mempengaruhi antara masyarakat dengan polisinya, sebagai dampak dari birokrasi feodal yang membanggakan produk-produk hutang budi dari kaum bebek yang tidak memiliki jati diri. Sifatnya pasti hanya cari enaknya dan menyengsarakan rakyatnya.
Mungkin dapat dianalogikan sebagai musang tak berbulu yang menyalahi kodrat dan takdirnya sebagai musang yang semestinya berbulu. Kalau sebagai aparatur penyelenggara negara yang menyalahi kodratnya, ia semestinya menjadi penjaga malah menjadi pemangsa.
Orang yang senang atau memprovokasi untuk ngrusuhi, ingin mendominasi dan menjadi dominan dalam penguasaan sumber daya maupun pendistribusianya (by design). Mereka adalah golongan preman yaitu seseorang/ sekelompok orang yang menikmati hasil dari keringat orang lain, dengan mengatasnamakan berbagai kebenaran dengan pembenaran-pembenaran. Mereka sebenarnya orang-orang pengecut, penghianat, dan tidak memiliki keutamaan serta jahat hati nuraninya. Mengapa demikian? Karena tidak berani menghadapi kenyataan, tidak berani sebagai fighter dan jelas kelasnya sebagai pecundang. Kegemaraan mereka lempar bom sembunyi identitas, menyulut kekacauan tanpa rasa bersalah, dan menghembuskan kebencian untuk mengadu domba. Semua ini dilakukan dengan tujuan:
Membuat tidak nyaman;
Melemahkan;
Memfitnah;
Memutarbalikan fakta;
Menghembuskan kebencian;
Mempermalukan; dan
Menggagalkan program atau usaha baik lainnya.
Pertanyaanya, mengapa semangat ngrusuhi ini terus ada, tumbuh dan berkembang? Jawabanya tentu sangat kompleks, tetapi setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan benang merah sebagai akar masalahnya antara lain :
“Sistem feodalisme” yang terus ditumbuh-kembangkan. Menjadi akar dari birokrasi patrimonial dengan aneka pedekatan personal yang sarat dengan KKN;
Rasa nasionalisme yang buruk atau lebih bangga dan mengembangkan ego sektoral;
Berbagai kebanggaan semu yang menjadi keyakinan sebagai nilai-nilai budaya yang terus ditumbuh-kembangkan. Sehingga susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah;
Orientasinya bukan pada peningkatan kualitas hidup rakyatnya, tetapi untuk kesenangan pribadi, golongan, dan kelompoknya.
Sehingga dalam semangatnya terus saja memperkeruh suasana untuk keuntungan-keuntungan baginya yang menggerogoti rakyatnya;
Politiknya penguasaan dan kekuasaan dengan cara-cara kotor dan memalukan, Pemerasan, penyuapan, dan berbagai pungutan tidak resmi menjadi pemandangan yang biasa ditemukan dalam birokrasi, bahkan dianggap telah membudaya (sebagai habitus) yang dipertahankan para kelompok status quo/ comfort zone. Apa yang diselenggarakan penuh kepura-puraan dan supervisial, semuanya semu (tipu-tipu/ pseudo), dan sebatas seremonial dalam program-program birokrasi. Pemimpinnya sering merupakan produk hutang budi, tidak berkompetensi dan tidak mampu dijadikan role model sehingga kebijakan dan transformasinya kacau dan mengacaukan yang bisa ngerusuhi/ dirusuhi.
Nasehat leluhur: ojo sok ngrusuhi yang artinya: jangan suka mengganggu. Karena yang suka ngrusuhi itu benalu, pecundang, pengecut, penghianat, pengerat yang memamerkan ketololannya. Akibat dari pikiran dan tindakan ngrusuhi ini: memuakkan, njelehi, ngriseni, dan menjadi kontra produktif. Etika bagi pejabat Kepolisian: kesadaran, Tanggung jawab dan Disiplin.
Moralitas bagi pejabat polisi dapat di maknai dari etika pejabat publik. Etika publik adalah refleksi atau penghayatan atas standar/ norma yang menentukan baik/ buruk, benar/ salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan yang diambil oleh para pejabat publik dalam rangka mengimplementasikan pelayanan public (Haryatmoko, 2014). Etika publik merupakan integritas bagi pejabat publik dalam memberikan pelayanan publik. Pelayanan kepada publik yang buruk akibat sarat kepentingan dan korupsi. Yang berdampak pengabaian kepentingan publik dan lebih mengedepankan kepentingan dirinya maupun kelompoknya. Pelayanan publik tanpa standar kompetensi dan lemahnya komitmen akan menggerus integritas para pejabat dan politisi. Kalau sudah tergerus bagaimana akan care dan bagaimana akan meningkatkan kualitasnya? Tentu saja pelayanannya justru dapat membebani dan mempersulit bagi publik yang menerima pelayanan.
Para petugas polisi sebenarnya merupakan bagian dari pejabat publik yang semestinya mempunyai standar etika publik yang mencakup :
1. Sistem, Prosedur, Instrumen
2. Pelayanan publik,
3. Integritas yang tidak lepas dari kompetensinya. Etika publik menjadi refleksi bagaimana menjembatani agar norma moral bisa menjadi tindakan nyata. Sistem dan prosedur serta instrumen bagi pelayanan publik juga terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkarakter.
Aturan yang bisa mengawasi pejabatnya. Semua ini adalah untuk membangun institusi yang adil. Institusi yang adil dibangun atas spirit untuk menyelenggarakan tugasnya secara profesional, cerdas, bermoral dan modern yang mampu memberikan pelayanan prima. Dari institusi yang adil akan bisa membangun pelayanan publik. Membangun karakter, membangun kepercayaan, membangun kemitraan dalam penyelenggaraan tugas mencerminkan sebagai institusi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern.