Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan) mengatur 4 jenis kewenangan penyelenggaraan Jalan, yaitu pusat, provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana diatur dalam Pasal 14-16 UU Jalan. Salah satu kewenangan penyelenggaraan Jalan Kabupaten adalah penyelenggaraan Jalan Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Jalan. Melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maka negara mengakui kemandirian desa dalam batas-batas tertentu. Nawacita Presiden Jokowi pada periode 2014-2019 mengenai membangun negara dari pinggiran, yaitu desa. Hal ini mengingatkan soal isu pengembangan desa yang maju dan mandiri sebagai anti tesis dari era orde baru yang sangat sentralistik serta pasca orde baru yang terlalu terfokus pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Semenjak adanya UU Desa maka bantuan dana dari berbagai sumber keuangan khususnya pemerintah pusat mengalir ke desa yang salah satunya digunakan untuk membiayai berbagai pembangunan di desa termasuk jalan desa. Isu tentang desa menjadi menarik ketika dilekatkan dengan UU Pemda Tahun 2014 yang juga menyinggung soal desa dan kewenangannya apalagi lahirnya UU Desa memiliki tahun yang sama dengan lahirnya UU Pemda sehingga menarik dikaji keterkaitan keduanya. Pertanyaan yang muncul adalah semenjak adanya UU Desa maka siapakah yang seharusnya berwenang dan memiliki Jalan Desa jika dikaitkan dengan UU Jalan yang sampai saat ini belum diubah dan bagaimana pula kaitannya dengan UU Pemda yang juga mengatur soal keberadaan desa?
Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Desa Menurut UU Jalan dikaitkan dengan UU Desa dan UU Pemda Beserta Masalahnya
Kewenangan penyelenggaraan tersebut mencakup 4 aspek yaitu pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 14 UU Jalan. Jalan desa muncul sebagai bagian yang masuk ke dalam wewenang kabupaten selain jalan kabupaten. Poin kuncinya adalah berhubung desa tidak masuk 4 jenis kategori penyelenggara jalan sehingga sudah dipastikan desa tidak memiliki wewenang untuk mengatur sendiri serta membangunnya meskipun jenis/sebutan jalan desa diakui dalam UU Jalan. Artinya sebutan jalan desa hanya sebatas bahwa jalan itu lokasinya berada di desa. Kemudian pasca terbitnya UU Desa yang mengusung kemandirian desa untuk dapat berkembang, maju, serta mengurus dirinya sendiri maka kita dapat melihat adanya kewenangan yang diberikan kepada desa menurut UU Desa. Namun sebelum bicara lebih dalam mengenai kewenangan infrastruktur jalan desa dalam kacamata UU Desa maka kita perlu melihat konstruksi dasar UU Desa mengingat desa mulanya menginduk ke kabupaten termasuk soal jalan desa.
Ketentuan Umum UU Desa memuat definisi pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Tanpa harus menelisik substansinya disimpulkan bahwa desa tidak masuk dalam cakupan definisi pemerintah daerah. Hal ini penting untuk digarisbawahi untuk mengetahui dimana sebetulnya posisi desa pasca terbitnya UU Desa. Kemudian dalam ketentuan umum diatur pula bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Kesimpulannya bahwa antara istilah “daerah” dan “desa” sudah merupakan istilah yang berbeda. Pasal 7 UU Desa mengatur bahwa Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan desa. Kata “dapat” memberikan pengertian bahwa intervensi kewenangan pusat dan daerah terhadap desa bukan merupakan suatu keharusan. Penataan desa meliputi pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status, dan penetapan desa. Artinya ada peralihan kewenangan dari pemerintah daerah khususnya kabupaten agar kewenangan desa itu dapat terlaksana yang tentunya diberikan melalui instrumen hukum, yaitu Peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Desa. Hal tersebut memunculkan tantangan bahwa peralihan kewenangan ke desa membutuhkan inisiatif dan komitmen dari Pemda khususnya pemerintah kabupaten (meskipun dalam UU Desa ditulis kabupaten/kota yang artinya mungkin saja diperlukan keterlibatan kota sebab di UU Jalan diatur bahwa jalan desa masuk ke dalam wewenang kabupaten saja). Pasal 12 UU Desa juga mangatur bahwa Pemda kabupaten/kota dapat mengubah status kelurahan menjadi desa dan ketika kelurahan berubah menjadi desa maka sarana dan prasarana menjadi milik desa. Pertanyaan berikutnya apa saja kewenangan desa itu? Pasal 18 UU Desa menyatakan bahwa Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Pertanyaan berikutnya dimanakah jalan desa dalam konteks kewenangan desa tersebut? Pasal 19 huruf b mengenai kewenangan lokal berskala desa menegaskan dalam penjelasan pasal bahwa kewenangan tersebut adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa,tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa jalan desa masuk dalam cakupan kewenangan yang dilaksanakan oleh desa itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 UU Desa.
Setelah kita melihat UU Desa maka kita perlu melihat UU Pemda tahun 2014. Pada ketentuan umum nya “desa” didefinisikan serupa dengan yang ada di dalam UU Desa. Namun, dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemda disebutkan bahwa Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau Desa. Nampak ada “ketidaktegasan” dalam pasal tersebut sekalipun sudah mendefinisikan desa sesuai dengan UU Desa. Ketidaktegasan yang dimaksud adalah pasal tersebut masih membuka paradigma bahwa desa masuk dalam cakupan kabupaten/kota meskipun ada frase “dan/atau” tetapi apabila kita mengacu ke UU Desa bahwa sudah ada pemisahan pengertian antara desa dengan daerah maka ini menjadi persoalan khususnya dalam proses peralihan kewenangan kabupaten/kota ke desa. Pasal 371 ayat (1) UU Pemda mengatur bahwa dalam daerah kabupaten/kota dapat dibentuk desa, Pasal 371 ayat (2) UU Pemda kemudian mengatur bahwa Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai desa. Ternyata UU Pemda menyerahkan kewenangan desa ke UU Desa itu sendiri. Pasal 371 ayat (1) sebenarnya juga menimbulkan persoalan sebab hanya mengatur soal desa baru yang dibentuk oleh kabupaten/kota tapi tidak mengatur soal bagaimana desa-desa yang sudah ada yang nantinya diharapkan akan dapat menjawab persoalan mengenai bagaimana dengan jalan desa yang sudah ada yang selama ini masih menjadi wewenang kabupaten menurut Pasal 16 ayat (1) UU Desa. Artinya pengaturan pada UU Pemda ternyata juga tidak mampu menjawab persoalan kewenangan desa dan pelaksanaannya yang nantinya mengerucut ke jalan desa, sekalipun saat ini sudah ada Kementerian Desa yang cukup intensif membantu pendanaan desa termasuk dalam membangun jalan. Sebab apabila belum jelas posisi desa dan peralihan kewenangannya, maka juga tidak mudah untuk memastikan apakah jalan desa memang menjadi milik desa dalam arti kewenangan penyelenggaraannya benar-benar memang sepenuhnya ada di pemerintah desa sekalipun dalam UU Desa Penjelasan Pasal 19 huruf b telah ditegaskan bahwa jalan desa menjadi salah satu bentuk objek kewenangan lokal berskala desa sehingga jalan desa memang menjadi kewenangan desa. Persoalan apakah desa mampu untuk diserahkan kewenangan soal kepemilikan jalan secara pendanaan, maka itu tidak lagi menjadi suatu hal yang perlu diperdebatkan sebab UU Desa sudah mengatur soal keuangan dan asset asalkan pelaksanaannya sesuai dengan yang semestinya, maka akibatnya tidak ada lagi kekuatiran soal pendanaan sebab dibuka luas bantuan dari pusat dan daerah ke desa.
Solusi Kedepan
UU Jalan belum mengakomodir jalan desa sebagai salah satu kewenangan desa sebagaimana diatur dalam UU Desa. Perubahan UU Jalan tentunya perlu mengakomodir ketentuan UU Desa bahwa jalan desa sudah tidak lagi menjadi milik kabupaten tetapi sudah berpindah ke pemerintah desa yang pastinya dilakukan dengan berbagai batasan dan catatan mengingat jalan desa telah sangat lama menginduk ke kabupaten. Peralihan kewenangan soal jalan dari kabupaten ke desa menjadi suatu tantangan apabila tidak ada komitmen yang kuat dan pemahaman yang sejalan antara pusat, daerah, dan desa bahwa kewenangan jalan desa itu sesungguhnya ada di pemerintahan desa. Apabila kita mengikuti konstruksi berpikir UU Desa maka peralihan itu dilakukan dalam bentuk adanya peraturan daerah kabupaten/kota ataupun kalau mengerucut ke UU Jalan maka seharusnya melalui peraturan daerah kabupaten sebab jalan desa tadinya merupakan wewenang kabupaten. Untuk desa-desa baru mungkin tidak terlalu menjadi persoalan yang berat sebab dengan adanya UU Desa pastilah memberikan “tekanan” bagi Pemda Kabupaten untuk memuluskan kemandirian desa, tetapi untuk desa-desa yang sudah ada yang selama ini menginduk ke kabupaten yang tentunya juga ingin mengurus sendiri jalan yang ada di desanya, persoalan peralihan kewenangan jalan dari kabupaten ke desa ini juga harus senantiasa dipikirkan, diperjuangkan, direalisasikan, dan diawasi secara nyata sehingga tujuan desa mandiri yang mampu mengurus dirinya sendiri serta jalan desa itu menjadi milik dan kewenangan desa dapat terwujud. Istilah desa dan daerah tentu juga harus dipertegas agar ditemukan pengertian yang dapat dipahami bersama untuk menjawab persoalan apakah desa masih menjadi bagian dari pengertian daerah ataukah memang terpisah karena ini akan berimbas pada komitmen dan realisasi di lapangan apakah desa benar-benar dapat mandiri ataukah tidak.