Mengenal Lebih Dekat Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan orang sudah menjadi fenomena global yang mungkin menimpa siapa saja tanpa terkecuali. Perbuatan itu tidak memandang usia, gender, atau status sosial. Di banyak negara, perdagangan orang dikualifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Peristiwanya bisa jadi melintasi batas-batas negara. Itu sebabnya, dunia internasional memberikan atensi, lewat berbagai konvensi dan protokol internasional. Beberapa negara sudah memastikan perdagangan orang sebagai tindak pidana yang harus diberantas.

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dikualifikasi sebagai kejahatan kemanusiaan karena pada dasarnya dalam perbuatan ini, korbannya adalah manusia. Memang, ada aspek ekonominya, tetapi komoditasnya adalah manusia. Ini yang membedakan TPPO dibandingkan dengan tindak pidana lain pada umumnya.

“TPPO ini merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan khusus. Tidak bisa kita samakan dengan tindak kejahatan lain karena meski ada unsur ekonominya di situ, ini (TPPO—red) komoditasnya adalah orang,” kata National Program Officer (NPO) IOM Indonesia, Unit Penanggulangan Perdagangan Orang Migrasi Tenaga Kerja Rizky Hendrawansyah pada Pelatihan kerja sama Mahkamah Agung dan International Organization for Migration (MA-IOM) bertajuk ‘Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang Bagi Hakim Peradilan Umum Seluruh Indonesia

Untuk mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO, PBB telah melahirkan Konvensi mengenai kejahatan terorganisasi, yang kemudian dikenal sebagai United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC). Sebagai pelengkap Konvensi ini, PBB melahirkan tiga protokol, yang dikenal sebagai Palermo Protocol: Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak; Protokol Penentangan Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut dan Udara; dan Protokol Menentang Pembuatan dan Perdagangan Gelap Senjata Api, Suku Cadang dan Komponennya serta Amunisi. Di tingkat regional, perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga punya Convention against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP).

Indonesia telah mengundangkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Pemberantasan TPPO). Dua tahun kemudian, Indonesia mengundangkan UU No. 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah Menindak dan Mengukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organizaed Crime). Indonesia terbilang progresif karena UU Pemberantasan TPPO disahkan empat tahun setelah Konvensi PBB.

Tiga elemen

UU No. 21 Tahun 2007 memuat 67 pasal, dan setidaknya sembilan pasal memuat jenis-jenis tindak pidana dan ancaman hukumannya, serta enam pasal mengatur tindak pidana lain yang berkaitan dengan perdagangan orang. Untuk menentukan suatu perbuatan dikualifikasi sebagai TPPO, ada tiga elemen yang perlu diperhatikan, jika merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU Pemberantasan TPPO. Ketiga elemen itu adalah proses, cara, dan tujuan. Selengkapnya pasal dimaksud menyebutkan “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Elemen proses umumnya dinilai dari perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. Elemen kedua, yakni cara, dilihat dari apakah ada ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau memanfaatkan posisi rentan korban, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat. Elemen ketiga, tujuan, melihat pada tujuan perbuatan apakah untuk eksploitasi atau mengakibatkan seseorang tereksploitasi. “Ini semua sudah jelas di UU Pemberantasan TPPO yang bahkan mengambil langsung dan dikembangkan lagi dari definisi dari Protokol

Data dan angka

Praktiknya, ada beragam modus perdagangan orang. Ada melalui penculikan; bujuk rayu untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT) atau pekerja migran Indonesia (PMI); ada yang menggunakan jeratan utang, jasa, dan balas budi; duta seni/budaya/beasiswa; pengangkatan atau adopsi anak; dan ada pula bisa pula melalui pengantin pesanan, kawin paksa, atau kawin kontrak.

Berbeda dari modus perdagangan orang secara umum, menurut Rizky terdapat empat modus yang dilancarkan untuk menggaet anak remaja. Yakni teman merekrut teman untuk memenuhi gaya hidup; penipuan melalui program audisi; penipuan melalui program magang kerja di luar negeri; serta Perekrutan secara online melalui Facebook, Twitter, dan lain-lain.

Berdasarkan data dari IOM Indonesia, sepanjang tahun 2017-2020 di Indonesia terdapat kecendrungan kasus yang naik meski penurunan di 2021. Jika dilihat dari jenis pekerjaan korban TPPO, masih didominasi oleh anak buah kapal (ABK). Terbanyak kedua adalah PRT. Total yang ditangani IOM mencapai 9.352 korban. Sebagian besar korbannya adalah perempuan (69 persen). Dilihat dari usia, 71 persen adalah orang dewasa, sisanya (29 persen) anak-anak.

Rizky menambahkan, selama pandemi Covid-19, terjadi penurunan. Dari 70 korban yang ditangangi IOM pada 2021, laki-laki berjumlah 32 orang dan perempuan 38 orang. Perlu dicatat bahwa TPPO lintas batas lebih banyak dibanding di dalam negeri. Jenis eksploitasi tenaga kerja jauh lebih banyak daripada korban eksploitasi seksual.

Penanganan TPPO tidak hanya oleh pengadilan, tetapi juga badan lain yang punya kewenangan. “Kami upayakan adanya penanganan terpadu yang bisa dilaksanakan bersama, karena IOM tidak mungkin dapat menanganinya sendiri. Masyarakat harus sadar akan bahaya TPPO ini. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *