Sesungguhnya, jauh sebelum pemerintah Indonesia mengadopsi Deklarasi Kongres Dunia menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Stochkolm, 1996), serta meratifikasi Konvensi ILO No. 182 tentang tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, kasus perdagangan anak di Indonesia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, sudah cukup lama dikenal. Fakta ini dapat dlihat bahwa di kota-kota besar, anak-anak usia 13-15 tahun dapat ditemukan di tempat-tempat bordil, diskotik, bar maupun tempat-tempat perbelanjaan atau mal.
Menurut laporan situasi Anak dan perempuan (Unicef 2000), anak dibawah usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun yang “terdaftar”. Sementara itu, menurut M. Farid (2000), memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7 % dari Jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun.
Daerah pengirim perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial tersebut umumnya adalah dari daerah-daerah kantong kemiskinan, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggaran Timur, Sumatera Utara, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan daerah penerima atau transit di Indonesia adalah kota-kota besar, kota industri, daerah wisata seperti Lombok, Bali, Batam dan daerah wisata lainnya. Di Luar Indonesia negara penerima atau tujuan (destination) adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, Arab Saudi, Taiwan , Australia bahkan Eropah Timur.
Sementara itu, aktor-aktor yang terlibat dalam perdagangan anak adalah keluarga, teman, agen perantara pengiriman tenaga kerja, agen pemerintah antara lain dalam pembuatan KTP, paspor palsu maupun organisasi sindikat seks komersial, pedofile dan distributori narkoba. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah ini adalah tiadanya akte kelahiran, perkawinan usia muda, pekerja migran, kekerasan terhadap perempuan, juga dampak dari konflik sosial, eknik dan konflik bersenjata yang berlangsung di beberapa daerah.
Berdasarkan penelusuran CNSP Center (2001), di Jakarta, pusat-pusat perbelanjaan atau mal adalah “sarang” untuk mendapatkan anak-anak untuk siap diajak kencan. Pada umumnya mereka berusia dibawah usia 16 tahun dengan berpenampilan menarik dan cantik. Sebut saja Mal di daerah Blok M, Kalibata, Senen, Bekasi, atau Rawamangun. Anak-anak sekolah yang siap untuk diajak bermain apa saja dikoordinasi secara terorganisir oleh jaringan sindikat eksploitasi seksual komersial.
Anak-anak tersebut tidak saja ditemukan di mal-mal ataupun pusat perbelanjaan, namun juga di hotel menengah hingga hotel mewah. Sebuah hotel berbintang di Jakarta Timur, misalnya dikenal sebagai basis untuk memperoleh anak-anak sekolah. Modus operandinya, konsumen tinggal datang ke hotel tersebut, memesan kamar, dan kemudian memesan anak yang diinginkan. Di Hotel tersebut tidak sulit untuk mengenal orang-orang yang berprofesi sebagai mucikari. Jumlah mereka banyak, bahkan mereka terlihat agresif dengan mendatangi tamu yang memesan kamar untuk menawarkan anak-anak bawaan mereka.
Tarif rata-rata untuk anak-anak usia SMP atau SMU untuk short time berkisar antara Rp. 200.00-Rp. 300.000, tariff ini sudah termasuk jasa untuk mucikarinya. Setelah negosiasi harga disepakati, mucikari siap menghubungi temannya yang berada di mal atau pusat-pusat perbelanjaan untuk membawa anak yang dimaksud sesuai dengan pesanan.
Perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Menurut Laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara global memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di dunia terdapat 30 juta anak perempuan diperdagangkan. 225.000 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari Asia Selatan. Dari Kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia diduga yang paling terbanyak memperdagangkan perempuan dan anak. Masih menurut sumber badan PBB tersebut, dari perdagangan anak diperkirakan memperoleh keuntungan US$ 7 Miliar per tahun
Definisi Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial
Untuk mengetahui definisi dan pengertian yang baku terhadap bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak, Kongres Dunia menentang Seksual Komersial terhadap Anak (The world Congress for Against Sexual Commercial Exploitation of the Children) yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia tahun 1996, menetapkan bahwa semua bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak adalah merupakan pelanggaran mendasar atas hak-hak anak dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap negara yang menjadi peserta Konvensi Hak Anak (state Party), bila membiarkan semua bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak tanpa melakukan langkah-langkah pencegahan, perlindungan maupun pembasmian terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut, maka negara peserta Konvensi hak Anak (KHA) dapat dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Sebab, salah satu hak mendasar yang melekat dalam dari anak adalah hak mendapat perlindungan (protection Rigths) yang memadai dari negara.
Merujuk ketentuan pasal 34 dan 35 Konvensi Hak Anak (KHA), setiap negar di dunia yang telah meratifikasi KHA diwajibkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seks dan penyalagunaan seksual. Kemudian untuk mengimplementasikan maksud dari pasal 34 dan 35 KHA tersebut, ketentuan KHA mensyaratkan negara-negara peserta diharuskan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral guna mencegah bujukan atau pemaksanaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan seksual, penyalagunaan anak-anak secara eksploitatif dalam bentuk pelacuran atau praktek seksual lainnya serta pengggunaan anak-anak untuk pertunjukan porno dan bahan-bahan pornografis.
Bentuk-bentuk dari kegiatan Seksual Komersial terhadap anak, baik Deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak maupun ketentuan KHA dan UU Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa eksploitasi seksual komersial terhadap anak meliputi kegiatan penyalagunaan seksual anak oleh orang dewasa dengan cara paksa (coercion), pemberian uang atau sejenisnya kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada pihak ketiga, anak dijadikan sebagi objek seks serta objek komersial. Eksploitasi seksual Komersial anak juga dapat dilihat dalam bentuk paksaan serta kekerasan terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern (comtemporary form of Slavery).
Dalam merespon kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan Eksploitasi Seksual Komersial, Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Unicef, Organisasi International untuk Migran (IOM) dan organisasi international ECPAT (End Child Prostitution in Asia Tourism) memberikan definisi yang luas dan menyeluruh tentang perdagangan anak ( child trafficking). Definisi perdagangan tersebut memuat rujukan khusus tentang trafficking sebagai kegiatan yang mengandung perekrutan (recruitmen), pengangkutan (transportation), Pengiriman (transfer), pemberian perlindungan (harboring) atau penerimaan (receipt) atas siapapun dengan menggunakan ancaman atau kekerasan, paksaan, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalagunaan kekuasaan untuk tujuan perbudakan, kerja paksa termasuk kerja yang terikat atau karena tujuan perbudakan. Dengan demikian, apabila unsur-unsur yang menjadi rujukan telah terpenuhi, maka kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perdagangan anak, baik untuk keperluan eksploitasi seksual maupun eksploitasi ekonomi.
Langkah-langkah dan Tanggungjawab Pemerintah
Untuk pencegahan dan perlindungan terhadap kasus-kasus eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak, penulis menyarankan agar pemerintah dalam hal ini Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial sebagai leading sector segera berkonsentrasi menyiapkan agenda nasional dan indikator kemajuan, dengan serangkaian tujuan yang menekankan tujuh aspek penting yakni:
pertama, Pemerintah termasuk legislatif, yudikatif, Kepolisian, Departemen Luar negeri dan kantor Imigrasi agar memberikan prioritas utama pada tindakan untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak dan mengalokasikan sumber daya yang memadai.
Meningkatkan kerjasama yang lebih mantap antar Negara dan semua sektor masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta memperkuat peran serta keluarga dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.
Kedua, menindak pelaku eksploitasi seksual komersial anak, dan bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual anak, serta mengutuk dan menghukum semua yang terlibat dalam pelanggaran, baik itu warga lokal maupun asing, serta menjamin agar anak-anak yang menjadi korban praktek eksploitasi seksual komersial tidak dihukum.
Ketiga, memobilisir penegakan hukum, kebijakan, program-program yang melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dan memperkuat komunikasi dan kerjasama antar pihak penegak hukum, mendorong penerapan, implementasi serta diseminasi Undang-undang Perlindungan Anak. Mengembangkan dan melaksanakan rencana dan program yang sensitif gender untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak, melindungi dan membantu anak yang menjadi korban serta memfasilitasi pemulihan juga program-program reintegrasi anak kedalam masyarakat;
Keempat, pemerintah segera mengimplementasikan dua Protokol tambahan dari Konvensi Hak Anak tentang Penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak dan Konvensi transnational organized Crime beserta dua protokolnya, yakni protokol tentang pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan protokol penyelundupan orang.
Kelima, pemertintah segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga aktivitas pengembangan untuk menjamin agar orang tua bertanggung jawab atas anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial;
Keenam, pemerintah dan masyarakat segera memobilisir mitra politik, masyarakat nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan LSM, untuk membantu menghapus segala bentuk eksploitasi seksual komersial anak serta memacu peran partisipasi masyarakat yang popular, termasuk partisipasi anak-anak, dalam mencegah serta menghapus eksploitasi seksual komersial anak.
Ketujuh, memobilisir sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang penggunaan jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual komersial dan mendorong kalangan profesional, media untuk mengembangkan strategi yang memperkuat peran media dalam memberikan informasi yang bermutu, bisa dipercaya serta standar etika yang mencakup semua aspek ekploitasi seksual komersial.